|Beranda|berita|Tarbiyah

“Nggumun...”



Nggumun adalah bahasa jawa, artinya kagum atau takjub. Nggumun terjadi bila melihat atau mendengarkan sesuatu yang “luar biasa”. Misalkan anak kecil yang belum pernah melihat pesawat terbang dari dekat, akan nggumun ketika naik pesawat terbang untuk pertama kalinya. Ekspresi kegagumannya bermacam-macam mulai dari memanyunkan bibir sambil geleng-geleng kepala di sertai suara ck.. ck.. ck.. berulang kali, melihat secara detail bagian-perbagian pesawat sampai menceritakan kepada teman-temannya di lain waktu dengan semangat. Oleh sebagian orang yang tidak mempunyai cita rasa bahasa yang baik sikap nggumun tadi disebut ndeso.
Sesuatu yang “luar biasa” yang membuat orang nggumun sebenarnya bersifat relatif. Relatif terhadap wawasan, pengalaman, pendidikan serta idiologi. Berbeda dengan contoh anak kecil di atas, seorang engineer, walaupun baru pertama naik pesawat (karena memang asli desa) dia tidak akan nggumun dengan bleger pesawat tersebut. Karena dia sudah tahu mengapa bentuk penampang melintang sayap pesawat di desain seperti yang kita lihat selama ini, dia juga tahu bagaimana mekanisme landing dan take off, apa material kulit pesawat, dengan cara apa bagian-bagian pesawat disambung dan lain sebagainya. Karena sang engineer memiliki sesuatu, yaitu wawasan, pengalaman serta pendidikan maka tidak membuatnya menjadi orang nggumunan. Dia tidak ndeso walaupun berasal dari desa.
Kalau kita lihat, pemimpin bangsa kita ini adalah pemimpin bangsa yang nggumunan. Bagaimana tidak, karena nggumun dengan bleger peradaban barat yang maju secara fisik dan mundur secara moralitas, membuat bangsa kita mudah ikut aturan main yang dibuat oleh lintah darat dunia dengan harapan mampu meniru mereka, alih-alih kita sekarang malah terjerat dalam lingkaran setan utang. Negeri kita dijarah kekayaanya dan dirusak lingkungannya, itu semua sebagai kompensasi utang-utang kita.
Nggumun sudah menjadi bahasa masyarakat kita. Kita lihat acara-acara di televisi kita mulai dari pagi sampai petang bahkan sampai pagi lagi. Sinetron bajakan dari korea atau taiwan, acara jiplakan idol-idolan, ghibah selebritis dan sebagainya yang sangat mempengaruhi mindset masyarakat kita. Sudah tidak ada perbedaan lagi cara berpakain artis holywood dengan pemudi kita. Tidak ada lagi perbedaan gaya dan warna rambut seorang penyanyai american idol dengan pemuda kita (walaupun kadang-kadang antara wajah dan rambur tidak match ). Tidak ada lagi perbedaan interaksi laki-laki perempuan bangsa indonesia dengan adegan-adegan senetron korea atau taiwan. Karena nggumun itu masyarakat kita merasa ndeso kalau tidak mengikuti sampah peradaban barat tersebut. Padahal sikap seperti inilah ndeso yang sebenarnya.
Dalam konteks gerakan mahasiswa Islam yang sudah dimulai sejak masa pergolakan revolusi, nggumun ternyata pernah (masih?) menghinggapinya. Yang dimaksud nggumun di sini adalah dalam hal pemikiran. Tak jarang sebuah gerakan mahasiswa islam yang tujuan awalnya untuk mendidik para mahasiswa dengan nilai-nilai islam serta untuk menyebarluaskan nilai-nilai itu, ternyata di tengah perjalanan mengalami berbagai pembelokan atau bahkan tanpa arah. Karena pemahaman Islam yang parsial dari aktivisnya, melihat Islam sering hanya dari satu sudut pandang saja misalkan tentang Fiqh oriented atau dakwah sosial kemasyarakatan saja tanpa juga di imbangi dengan pemahaman tauhid serta ilmu alqu’ran dan hadits yng proporsional. Keparsialan pemahaman Islam ini bukan murni kesalahan mereka, tetapi lingkungan, kultur, latar belakang pendidikan keislaman serta orang-orang di sekitarnyalah yang membentuk mereka. Tetapi yang menjadi masalah adalah ketika mereka berani mengatakan (walaupun tidak terucap) bahwa Islam itu jumud, tidak sesuai dengan perkembangan zaman atau paling tidak ada banyak sisi yang tidak bisa diselesaikan oleh Islam. Sehingga pada suatu saat ketika mereka berhadapan –bisa dengan membaca,berdebat, berdiskusi, ketika di cuci otaknya atau hanya sekedar mendengar- dengan ideologi lain hal pertama kali yang mereka rasakan adalah nggumun. Kenggumunan ini bisa muncul karena keminderan dengan Islam yang ternyata parsial dan jumud –menurut mereka- jika dibandingkan dengan Ideologi lain, atau bisa juga seperti fenomena pemuda asli Indonesia yang gaya dan warna rambutnya mirip artis american Idol, hanya biar bisa dikatakan keren, tidak ndeso dan tidak ketinggalan zaman. Jadi belajar ideologi lain biar bisa dikatakan keren, ideologis, aktivis sejati dan sebagainya. Naudzubillahi min dzaalik
Pemahaman Islam yang kurang memadai (tentu juga pengamalannya) sering kali membuat seorang aktivis Islam yang sering berinteraksi dengan pemikiran/ideologi lain, terpelanting dari jalan dakwah yang lurus. Cukuplah kisah seorang Syaikh yang berusaha memerangi firqah bid’ah Syi’ah Rafidlah, kemudian dengan getol mempelajari literatur-literatur sekte ini untuk membantah dan mencari kelemahaanya. Tetapi seiring berjalannya waktu sang Syaikh itu justru keluar dari Ahli Sunnah wal Jamaah dan berpindah ke Syiah Rafidlah.
Umar RA yang pada suatu saat membawa Taurat ke hadapan Rasul dengan alasan mengambil sesuatu yang baik dari Taurat tersebut, tetapi dengan murka Rasul menjawb bahwa andaikan Nabi Musa masih hidup, maka Nabi Musa pun akan mengikuti risalah Rasul. Akan tetapi bukan berarti kita tidak boleh mengambil “sesuatu” dari mereka (orang-orang ber-isme selain Islam), yang perlu kita pahami Rasul atas saran Salman Al-Farisi pernah mengadopsi teknologi perang bangsa penyembah api,Parsi.
Sehingga dapat kita tarik kesimpulan bahwa kita harus tajarrud (totalitas) dalam berislam, tidak boleh ada sedikitpun isme-isme selain Islam dalam kehidupan kita. Tetapi di pihak lain kita diperintahkan untuk mempersiapkan kekuatan dalam menegakkan Agama Allah. Yang salah satu dari kekuatan itu adalah Ilmu pengetahuan dan Teknologi. Walaupun itu harus kita dapatkan dari tangan orang-orang kafir. Karena berdasar sabda Rasul bahwa semua hikmah yang berserakan adalah milik kaum muslimin dan kita berkewajiban untuk mengambilnya kembali. Semoga kita bukan menjadi aktivis yang suka nggumun serta ndeso pemikiran. Wallahu a’lam