|Beranda|berita|Tarbiyah

Singa atau kucing….



Ada sebuah ungkapan yang menarik dari seorang ikhwah, kebetulan seorang aktivis dakwah kampung, “aktivis dakwah kampus (ADK) ketika di kampus seperti singa, garang. Tetapi ketika pulang kampung berubah menjadi kucing, tidak lagi garang” ungkap beliau sambil bergurau. Ikhwah fillah, kalau kita mau jujur, ungkapan sang ikhwah tadi ada benarnya juga. Kita memang sering menjadi singa yang garang ketika di kampus tetapi menjadi kucing manis dan imut-imut ketika di rumah.
Fenomena singa yang garang ketika di kampus tetapi menjadi kucing manis dan imut-imut ketika di rumah, terjadi disebabkan karena beberapa faktor, diantaranya, pertama: faktor eksternal (lingkungan), kita sebagai seorang ADK dengan segala aktivitas dakwahnya di kampus, mulai dari menjadi masul lembaga, murobby, penulis produktif, panitia kegiatan sampai korlap aksi, ternyata ketika kita pulang kampung (baik beberapa hari saja maupun permanen), menghadapi situasi dan kondisi yang sama sekali berbeda dengan dunia kampus, kita seolah-olah memasuki “dunia lain”. Ketika di kampus masyarakat kampus dengan terbuka bisa menerima dan memahami tampilan dan atribut ke Islaman kita. Berbeda dengan di kampung, berjenggot tanpa kumis, berjilbab longgar plus kaus kaki, tidak berjabat tangan dengan selain mahrom, perbedaan furuiyah pada masalah fiqh ibadah dam lain sebagainya oleh masyarakat kampung dianggap sebagai sebuah “masalah besar”. Jika hal ini tidak disikapi dengan bijak maka bisa menimbulkan konflik yang akhirnya membuat kita “mati kutu”. Oleh karena itu kita membutuhkan pemahaman tentang fiqh dakwah, fiqh waqi’, fiqh awlawiyat dan fiqh muwazanat.
Selain faktor eksternal, yang membuat kita jadi kucing. Yang kedua: secara internal, tarbiyah dzatiyah kita lemah, ketika dikampus kita berkumpul dengan sesama ikhwah, kita jadi termotivasi untuk sholat berjamaah,tilawah qur’an,membaca buku islam, sampai sholat malam sekalipun, tetapi ketika di kampung itu semuanya menjadi berat, bisa jadi ketika sholat dhuhur di masjid kampung kita, kita jadi muadzin,imam sekaligus ma’mum alias sendirian. Selain itu di rumah adalah saat yang tepat untuk perbaikamn gizi dan istirahat total. Sehingga aktivitas-aktivitas positif dan amalan sunnah yang biasa kita lakukan ketika di kampus terlewatkan dan tergantikan dengan aktivitas mubah yan berlebihan. Sehingga kalau tidak kita manage dengan baik, pulang kampung adalah saat yang tepat untuk “bermalas diri” untuk sementara. Sehingga kalau semua ini terjadi maka alih-alih berdakwah kepada lingkungan di kampung kita, berdakwah kepada keluarga kita menjadi suatu hal yang berat dan sulit. Kita tidak memiliki semangat dan motivasi lagi dalam berdakwah terhadap keluarga kita. Sehingga kita menjadi orang yang “kesana kemari” berdakwah kepada orang lain, sedang orang-orang yang kita cintai yaitu ayah kita,ibu kita, kakak dan adik kita tidak merasakan dakwah kita. Oleh karena itu agar kita selalu berenergi ketika berdakwah di manapun saja, termasuk ketika jauh dari ikhwah, misalnya pulang kampung, maka kita harus melakukan tarbiyah dzatiyah dengan maksimal. .wallahu a’lam bishowab

“Nggumun...”



Nggumun adalah bahasa jawa, artinya kagum atau takjub. Nggumun terjadi bila melihat atau mendengarkan sesuatu yang “luar biasa”. Misalkan anak kecil yang belum pernah melihat pesawat terbang dari dekat, akan nggumun ketika naik pesawat terbang untuk pertama kalinya. Ekspresi kegagumannya bermacam-macam mulai dari memanyunkan bibir sambil geleng-geleng kepala di sertai suara ck.. ck.. ck.. berulang kali, melihat secara detail bagian-perbagian pesawat sampai menceritakan kepada teman-temannya di lain waktu dengan semangat. Oleh sebagian orang yang tidak mempunyai cita rasa bahasa yang baik sikap nggumun tadi disebut ndeso.
Sesuatu yang “luar biasa” yang membuat orang nggumun sebenarnya bersifat relatif. Relatif terhadap wawasan, pengalaman, pendidikan serta idiologi. Berbeda dengan contoh anak kecil di atas, seorang engineer, walaupun baru pertama naik pesawat (karena memang asli desa) dia tidak akan nggumun dengan bleger pesawat tersebut. Karena dia sudah tahu mengapa bentuk penampang melintang sayap pesawat di desain seperti yang kita lihat selama ini, dia juga tahu bagaimana mekanisme landing dan take off, apa material kulit pesawat, dengan cara apa bagian-bagian pesawat disambung dan lain sebagainya. Karena sang engineer memiliki sesuatu, yaitu wawasan, pengalaman serta pendidikan maka tidak membuatnya menjadi orang nggumunan. Dia tidak ndeso walaupun berasal dari desa.
Kalau kita lihat, pemimpin bangsa kita ini adalah pemimpin bangsa yang nggumunan. Bagaimana tidak, karena nggumun dengan bleger peradaban barat yang maju secara fisik dan mundur secara moralitas, membuat bangsa kita mudah ikut aturan main yang dibuat oleh lintah darat dunia dengan harapan mampu meniru mereka, alih-alih kita sekarang malah terjerat dalam lingkaran setan utang. Negeri kita dijarah kekayaanya dan dirusak lingkungannya, itu semua sebagai kompensasi utang-utang kita.
Nggumun sudah menjadi bahasa masyarakat kita. Kita lihat acara-acara di televisi kita mulai dari pagi sampai petang bahkan sampai pagi lagi. Sinetron bajakan dari korea atau taiwan, acara jiplakan idol-idolan, ghibah selebritis dan sebagainya yang sangat mempengaruhi mindset masyarakat kita. Sudah tidak ada perbedaan lagi cara berpakain artis holywood dengan pemudi kita. Tidak ada lagi perbedaan gaya dan warna rambut seorang penyanyai american idol dengan pemuda kita (walaupun kadang-kadang antara wajah dan rambur tidak match ). Tidak ada lagi perbedaan interaksi laki-laki perempuan bangsa indonesia dengan adegan-adegan senetron korea atau taiwan. Karena nggumun itu masyarakat kita merasa ndeso kalau tidak mengikuti sampah peradaban barat tersebut. Padahal sikap seperti inilah ndeso yang sebenarnya.
Dalam konteks gerakan mahasiswa Islam yang sudah dimulai sejak masa pergolakan revolusi, nggumun ternyata pernah (masih?) menghinggapinya. Yang dimaksud nggumun di sini adalah dalam hal pemikiran. Tak jarang sebuah gerakan mahasiswa islam yang tujuan awalnya untuk mendidik para mahasiswa dengan nilai-nilai islam serta untuk menyebarluaskan nilai-nilai itu, ternyata di tengah perjalanan mengalami berbagai pembelokan atau bahkan tanpa arah. Karena pemahaman Islam yang parsial dari aktivisnya, melihat Islam sering hanya dari satu sudut pandang saja misalkan tentang Fiqh oriented atau dakwah sosial kemasyarakatan saja tanpa juga di imbangi dengan pemahaman tauhid serta ilmu alqu’ran dan hadits yng proporsional. Keparsialan pemahaman Islam ini bukan murni kesalahan mereka, tetapi lingkungan, kultur, latar belakang pendidikan keislaman serta orang-orang di sekitarnyalah yang membentuk mereka. Tetapi yang menjadi masalah adalah ketika mereka berani mengatakan (walaupun tidak terucap) bahwa Islam itu jumud, tidak sesuai dengan perkembangan zaman atau paling tidak ada banyak sisi yang tidak bisa diselesaikan oleh Islam. Sehingga pada suatu saat ketika mereka berhadapan –bisa dengan membaca,berdebat, berdiskusi, ketika di cuci otaknya atau hanya sekedar mendengar- dengan ideologi lain hal pertama kali yang mereka rasakan adalah nggumun. Kenggumunan ini bisa muncul karena keminderan dengan Islam yang ternyata parsial dan jumud –menurut mereka- jika dibandingkan dengan Ideologi lain, atau bisa juga seperti fenomena pemuda asli Indonesia yang gaya dan warna rambutnya mirip artis american Idol, hanya biar bisa dikatakan keren, tidak ndeso dan tidak ketinggalan zaman. Jadi belajar ideologi lain biar bisa dikatakan keren, ideologis, aktivis sejati dan sebagainya. Naudzubillahi min dzaalik
Pemahaman Islam yang kurang memadai (tentu juga pengamalannya) sering kali membuat seorang aktivis Islam yang sering berinteraksi dengan pemikiran/ideologi lain, terpelanting dari jalan dakwah yang lurus. Cukuplah kisah seorang Syaikh yang berusaha memerangi firqah bid’ah Syi’ah Rafidlah, kemudian dengan getol mempelajari literatur-literatur sekte ini untuk membantah dan mencari kelemahaanya. Tetapi seiring berjalannya waktu sang Syaikh itu justru keluar dari Ahli Sunnah wal Jamaah dan berpindah ke Syiah Rafidlah.
Umar RA yang pada suatu saat membawa Taurat ke hadapan Rasul dengan alasan mengambil sesuatu yang baik dari Taurat tersebut, tetapi dengan murka Rasul menjawb bahwa andaikan Nabi Musa masih hidup, maka Nabi Musa pun akan mengikuti risalah Rasul. Akan tetapi bukan berarti kita tidak boleh mengambil “sesuatu” dari mereka (orang-orang ber-isme selain Islam), yang perlu kita pahami Rasul atas saran Salman Al-Farisi pernah mengadopsi teknologi perang bangsa penyembah api,Parsi.
Sehingga dapat kita tarik kesimpulan bahwa kita harus tajarrud (totalitas) dalam berislam, tidak boleh ada sedikitpun isme-isme selain Islam dalam kehidupan kita. Tetapi di pihak lain kita diperintahkan untuk mempersiapkan kekuatan dalam menegakkan Agama Allah. Yang salah satu dari kekuatan itu adalah Ilmu pengetahuan dan Teknologi. Walaupun itu harus kita dapatkan dari tangan orang-orang kafir. Karena berdasar sabda Rasul bahwa semua hikmah yang berserakan adalah milik kaum muslimin dan kita berkewajiban untuk mengambilnya kembali. Semoga kita bukan menjadi aktivis yang suka nggumun serta ndeso pemikiran. Wallahu a’lam