|Beranda|berita|Tarbiyah

Tifatul dan Jilbab


Ada sebuah "pertanyaan" dari seorang teman tentang pernyataan Ustadz Tifatul Sembiring, yang dimuat dalam salah satu media, tentang jilbab yang dikenakan oleh Bu Ani Yudhoyono. "Pertanyaan " teman saya tersebut terkait pernyataan ust Tifatul adalah . " apakah jilbab itu sekedar selembar kain..?
berikan ini tanggapan saya terhadap "pertanyaan" teman saya.

Demi Allah tidak bang fulan, jilbab bukan sekedar selembar kain. Jilbab adalah identitas, jilbab adalah lambang kemulyaan yang disematkan Allah kepada kaum wanita. Kalau kita lihat dari asbaabun nuzul surah al-ahzab 59, perintah berjilbab merupakan usaha preventif dari Islam untuk menjaga kemulyaan wanita.
itulah mengapa, dengan segenap darah dan air mata, para pendahulu kita memperjuangkan hak untuk menggenakan hijab bagi muslimah, terutama diinstitusi resmi pendidikan, pemerintah maupun swasta pada akhir 80-an. Walaupun telah begitu banyak para muslimah yang harus DO dari sekolah/kampus atau dipaksa makan katak hidup-hidup oleh pihak berwajib" karena "ngeyel" tetap berjilbab.

Tidak sedikit pula muslimah yang diusir oleh orang tuanya karena tidak bergeming dengan segala rayuan maupun ancaman untuk melepas jilbab mereka karena takut anaknya seret jodoh dan rejeki. Walaupun mereka sayang dan patuh kepada orang tua mereka, tapi untuk hal yang prinsip, apalagi itu adalah aturan Allah tidak ada kompromi.
Para siswi SMA yang masih abg dengan dukungan para mahasiswa senior mereka yang aktif dalam lembaga dakwah kampus (LDK), melakukan advokasi kepada pihak yang berwenang, namun nihil. Mereka justru mendapatkan tekanan baik secara fisik maupun psikis dari rezim orba waktu itu. fitnah disebarkan oleh penguasa waktu itu, sebagai contoh ada seorang wanita berjilbab dituduh menebarkan racun disebuah pasar, Bahkan pihak-pihak tertentu melakukan propaganda dan juga memberikan stigma miring, bahwa wanita yang berjilbab itu kolot, tidak berpendidikan, fanatik dan fundamentalis.
Cobaan bertubi-tubi tersebut tidak menghalangi para 'jilbaber' untuk meneruskan perjuangan. Gelombang demonstrasi menuntut pelegalan jilbab di institusi pendidikan maupun pemerintah mulai bermunculan, dan akhirnya menjadi efek bola salju yang membangkitkan semangat "perlawanan" dari elemen-elemen Islam yang lain, hingga akhirnya pada tahun 1991, jilbab dinyatakan legal oleh pemerintah. jilbab bukan menjadi hal yang terlarang maupun aib lagi. inilah yang kemudian kita kenal dengan revolusi jilbab.
Kini, menggunakan jilbab bukan suatu hal yang terlarang, alhamdulillah bahkan kini menjadi sebuah kebanggan. Jilbab sudah ada dimana-mana, dari kota sampai desa, dari kecil sampai dewasa semua orang menggenakan dengan bebas, tanpa tekanan.
Selain back up tokoh-tokoh Islam waktu itu, para aktivis dakwah kampus dan sekolah memiliki peran besar dalam revolusi jilbab. Dari beberapa media Islam (edisi tahun 87-90an) yang saya baca sejak SD ataupun sebuah buku tentang revolusi jilbab ataupun testimonial secara langsung dari "pelaku" sejarah, dapat saya simpulkan bahwa revolusi jilbab yang diperjuangkn oleh aktivis dakwah kampus dan sekolah, tidak terjadi dengan bim salabim, tetapi memerlukan waktu dan pengorbanan jiwa dan raga. Sehingga kita sebagai generasi penerus, harus menghargai perjuangan para pendahulu kita, minimal kita berusaha memahami jilbab sebagaimana mereka dahulu memahaminya, bahwa jilbab bukab sekedar asesoris fisik belaka tapi jilbab adalah identitas sekaligus refleksi ketaatan kita kepada Allah subhanahu wataala.
Melihat sejarah dan latar belakang diatas, secara pribadi "berat" rasanya mempercayai kebenaran berita bahwa sosok sekaliber Tifatul Sembiring benar-benar menyepelekan jilbab dengan menyatakan bahwa jilbab hanyalah selembar kain, tak lebih dan tak kurang.
Kenapa berita tersebut sulit dipercaya kebenarannya?

pertama, beliau adalah pimpinan sebuah partai dakwah, yang kader serta pengurusnya sebagian besar adalah alumni dakwah kampus dan sekolah, yang nota bene diantara mereka adalah korban sekaligus pelaku sejarah revolusi jilbab. Kalau memang beliau memiliki maksud yang sama sebagaimana yang ditulis oleh salah satu media tentang jilbab hanya selembar kain dan tidak memiliki arti apa-apa, maka sesungguhnya beliau telah "menyimpang" dari main stream partai dakwah tersebut. Dan tentu, sebagai partai dakwah yang memiliki Dewan Syarian (legislatif) dan juga majlis syuro, akan memberikan sanksi atau minimal peringatan. Tetapi sampai saat ini belum kita dengar ada punishment dari Majlis syuro atau dari dewan syariah kepada pak Tifatul Sembiring, artinya sampai saat ini tidak ada pelanggaran syariah dari pernyataan beliau.

kedua, secara pribadi, kalau kita lihat dari biografi beliau, pak tifatul aktif dalam dunia dakwah sekolah sejak SMP dijakarta, beliau tergabung dalam PII pun juga aktif dalam dakwah kampus ketika beliau kuliah sampai beliau mendapat gelar Insinyur. Bukan suatu hal yang mustahil, beliau juga terlibat dalam "revolusi jilbab" pada masa itu, karena keterlibatannya dalam dunia dakwah kampus. Sehingga seperti hal yang tidak masuk akal, beliau "menghianati" apa yang telah beliau perjuangkan sendiri. Apalagi kalau kita lihat keluarga beliau senantiasa berjilbab dengan rapi, kalau memang beliau berpemahaman bahwa jilbab hanyalah sekedar selembar kain, mengapa beliau mendidik keluarganya untuk berjilbab secara rapi sebagai identitas seorang muslimah?

ketiga, ada sebuah klarifikasi yang diberikan Bapak Tifatul Sembiring (sayang ini tidak di publish secara umum) tentang pernyataan beliau yang dikutip sebuah media yang akhirnya memicu kontroversi. Beliau menyampaiakan versi lengkap pernyataan beliau, yang itu sebenarnya bukan sebuah wawancara, tapi hanya sebuah pertanyaan "pancingan" oleh seorang reporter media. Dalam klarifikasi tersebut beliau memberikan versi lengkap dari pernyataan beliau, dan bagi kita yang berkal sehat, cukup mudah memahaminya, pernyatan beliau yang sebenarnya memiliki maksud yang jauh berbeda dari yang kita baca dari media tersebut. Tidak ada yang salah tentang pernyataan beliau, jauh berbeda yang kita interpretasikan dari pernyataan beliau di media tersebut. Tapi sayang, reporter tersebut tidak memuat versi penuh dan lengkap dari pernyataan dari pak tifatul tersebut, tapi hanya mengambil "angle" yang pas dan memiliki daya jual yang tinggi, sehingga terjadilah apa yang kita baca saat ini.
wallahu a'lam