|Beranda|berita|Tarbiyah

Menghindari Kultus dengan Bermusyawarah


Seperti yang kita ketahui bersama, islam melarang adanya taqdis atau kultus individu, karena memang tidak ada manusia yang ma'shum kecuali Rasulullah. Rasul mutlak benar, karena memang beliau dibimbing oleh wahyu, dibimbing langsung oleh Allah Subhanahu wataala.
Bentuk dari kultus individu adalah menyematkan kebenaran mutlak pada individu atau kelompok, sehingga pada titik tertentu bisa mencederai tauhid seseorang, karena menisbatkan kebenaran mutlak pada selain Allah.
Kita tidak dibenarkan melakukan kultus kepada Imam syafii, imam malik, imam hanafi, Muhammad ibn wahab, syaikh nashiruddin al banie,

ulama lokal maupun interlokal, dahulu maupun sekarang atau siapapun. Apatah lagi kita mengkultuskan pribadi kita, pendapat kita , ego kita, tentu itu lebih terlarang, naudzu billah min dzaalik., mengutip dan menambahi apa yang ditulis oleh seorang teman, jangan sampai kita seperti kerbau yang dicucuk hidungnya... ." oleh hawa nafsu kita yang terejawantahkan dalam kritikan, "nasehat" atau pendapat, yang di hiasi (tazyiin) oleh syetan dengan anggapan bahwa hawa nafsu kita itu adalah sebuah pemikiran yang kritis, bebas dari kekanganan dsb. Sebagaimana syetan telah mentazyiin, seorang pencuri yang menggasak harta tetangganya, seraya bergumam, " ahh.. diakan orang kaya yang pelit dan sombong, dicuri sedikit tak apalah, kan hartanya banyak.., sekalian biar dia sadar.". naudzubillah min dzaalik.
Kemudian apakah setelah kita tidak boleh mengkultuskan seseorang kita tidak boleh mengikuti ijtihad ataupun pendapat seorang ulama atau "ijtihad-ijtihad" yang lain berupa syuro? eit tunggu dulu, antara kultus individu dan mengikuti ijtihad ulama dua hal yang berbeda. Mengikuti ijtihad ulama sesuatu yang diperbolehkan dalam Islam.
Kalau dulu, Rasulullah untuk melakukan sesuatu yang bersifat strategis, menyangkut eksistensi Islam dan dakwah, misal pada waktu perang badar, Rasul dibimbing langsung oleh wahyu Allah. Tetapi yang cukup menarik adalah, ternyata Rasulullah juga mau bermusyawarah dengan para sahabat tentang strategi perang badar waktu itu, yang akhirnya umat Islam menang dengan spektakuler.
Pun juga ketika perang uhud, Rasulullah juga melibatkan para sahabat untuk melakukan syuro, pada waktu itu ada "dua kubu" yaitu kubu kaum "tua", meliputi Rasulullah dan para sahabat senior, berpendapat lebih strategis dan peluang menang kaum muslimin lebih besar jika mereka bertahan di kota madinah, karena memang topografi madinah sangat strategis dengan dikelilingi "benteng alam" berupa bukit dan pegunungan. Di pihak lain para sahabat yang lebih muda, tentu dengan semangat mereka berpendapat, menyongsong musuh diluar madinah, tepatnya di sekitar bukit uhud, memungkinkan kaum muslimin untuk menang. Hasil syuro/musyawarah menunjukkan sebuah tarbiyah/pendidikan yang besar bagi kita, ternyata keputusan syuro/musyawarah bukan "memenangkan" pendapat Rasulullah dan para sahabat senior, tapi justru keputusan musyawarah menetapkan kaum muslimin untuk menyambut musuh di sekitar bukit uhud. Dan kita sudah tahu bagaimana hasil perang uhud, 70 kaum muslimin syahid, pejuang Islam, Hamzah bin abd mutholib syahid, jasadnya dinistakan oleh Hindun, Rasulullah geraham beliau patah, pipi beliau tembus oleh tombak. Ternyata Allah memberikan kabar gembira sekaligus hiburan atas "kekalahan" yang menimpa kaum muslimin, bahwa Allah ingin memilih beberapa sahabat sebagai syuhada', yang tentu pahalanya adalah surga, Allah juga ingin mengetahui siapa diantara kelompok kaum muslimin, yang betul-betil setia dan siapa yang munafiq, terbukti dari 1000 pasukan Rasul, 300 orang munafiq melakukan desersi. Allah juga menghibur kaum muslimin bahwa kemenangan adalah senantiasa "mudawalah" dipergilirkan. Yang menarik, Allah tidak menyalahkan Rasulullah dan kaum muslimin atas "kekalahan" yang menimpa mereka atau menyalahkan sahabat dari kalangan pemuda yang tetap kekeuh berpendapat menyambut musuh di luar kota madinah, walaupun akhirnya pendapat Rasul dan sahabat senior insya allah lebih tepat. Subhanallah.
Apa yang perlu kita ambil hikmah dari semuanya? sekarang ini wahyu sudah berhenti, tapi kita masih mempunyai Alqur'an dan As-Sunnah, masih ada pintu ijtihad untuk menyelesaikan permasalahan kontemporer berdasarkan al-qur'an dan assunnah. Mengutip apa yang disampaikan oleh Syaikh Taufiq Ramadlan al-buthi, ketika saya dan beberapa teman, silaturahim dengan beliau, (maaf karena dalam bahasa Arab, mungkin terjemahan bebasnya seperti ini) " sekarang ini yang kita perlukan adalah ijtihad jama'i, ijtihad yang dilakukan oleh banyak orang yang memenuhi syarat, untuk mendapatkan ijtihad yang lebih berkualitas, bukan ijtihad pribadi saja". artinya, sekarang ini saya tidak berbicara pada masalah ijtihad, tetapi untuk saat ini sebuah organisasi Islam atau partai dakwah, untuk menghindari kultus pribadi memerlukan syuro atau musyawarah. Karena dengan musyawarah unsur subjektivitas dapat dihindarkan. musyawarah adalah tempat berkumpulnya musyawir anggota majlis syuro yang mempunyai kapabilatas di berbagai bidang, misal dibidang tafsir Alqur'an, lmu Hadits, fiqh, ekonomi Islam, intelejen, politik, sosial budaya, hukum dsb, sehingga dalam menentukan keputusan tetap bersandar Al-quran dan as-sunnah walaupun itu merupakan permasalahan kontemporer, yang tentunya kemaslahatan adalah menjadi tujuan. Dengan musyawarah yang dilakukan, maka kultus individu bisa dihindarkan. Analog dengan ijtihad jama'i, anggota majlis syuro harus memenuhi syarat. Sebagai contoh dalam sebuah partai dakwah, untuk menjadi seorang anggota majlis syuro (yang jumlahnya 99 orang) harus mempunyai beberapa kriteria dasar, walaupun dia bukan dari kalangan "ustadz", contoh kriterianya adalah , intensitas sholat berjamaahnya, intensitas shoum (puasa) sunnahnya, hafalan al-qur'an dan hadits, walau tidak sampai 30 juz, akhlaq kesehariannya, pemahaman dasarnya tentang aqidah (tauhid), selain menjadi keharusan setiap anggota majlis syuro memiliki spesialisasi dibidangnya yang diperlukan dalam majlis syuro tersebut. Sehingga dengan itu semua, hasil syuro tidak lahir dari pendapat pribadi saja yang tentu mudah disusupi oleh hawa nafsu, sehingga diharapkan bisa menghasilkan keputusan yang sesuai dengan Al-qur'an dan assunnah, walaupun bisa jadi dikemudian ada beberapa hasil keputusan syuro ada yang "salah" atau kurang tepat sebagaimana pada waktu perang uhud, tetapi itu semuanya telah dilakukan oleh syuro, hanya allahlah tempat bertawakkal, Fa idzaa azamta fatawakkal alallah.
Rosulullah pada suatu kesempatan bersabda, “Umatku tidak akan bersepakat atas kesesatan, maka jika kamu melihat perselisihan hendaklah kamu berpegang dengan kelompok yang terbanyak.” (HR Ibnu Majah), sehingga dengan syuro, peluang adanya sekumpulan orang berkonspirasi untuk melanggar aturan Allah akan lebih kecil (dalam hadits itu dinyatakan tidak mungkin), dibandingkan jika keputusan tersebut dibuat sendiri atau orang yang banyak yang tidak memiliki kriteria menjadi anggota majlis syuro, yang "bersepakat" karena ada persamaan "kepentingan" sesaat yang tentunya mereka "bersepakat" tanpa melalui syuro. Sehingga dapat kita simpulkan, Insya Allah hasil syuro yang dilakukan oleh orang yang memenuhi kriteria menjadi anggota majlis syuro lebih menenangkan (ithmi'nan) dan berkah.

Oleh karena kita tidak diperbolehkan untuk kultus pribadi kepada siapapn dan apapun, tapi disaat yang lain kita harus menghargai ijtihad ulama mu'tabar atau syuro dari orang-orang yang sudah jelas track recordnya, jelas komitmennya kepada dakwah dan Islam, karena syuro sudah di ajarkan oleh Rasul. Syuro adalah tradisi dalam Islam, yang merupakan bentuk lain kehiduan berjamaah. Dan sesuai dengan hadits, Tangan Allah di atas jamaah. wallahu a'lam.